BALAI BESAR PERBENIHAN DAN PROTEKSI TANAMAN PERKEBUNAN MEDAN
DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN

PENGEMBANGAN BURUNG HANTU (Tyto alba javanica Gmel) DALAM PENGENDALIAN HAMA TIKUS

Diposting     Rabu, 17 Mei 2023 11:05 am    Oleh    Admin2 BBPPTP Medan



Eli Paska Siahaan, SP., MP._POPT Ahli Muda

I. PENDAHULUAN

Tikus dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang relatif besar pada tanaman budidaya karena menyerang pada semua stadia tanaman mulai dari benih, pembibitan hingga pasca panen (Priyambodo, 2009). Secara alami, hama tikus terkendali dengan adanya predator seperti ular, kucing, anjing, garangan, burung hantu dan burung elang. Akan tetapi dengan kondisi alam yang tidak seimbang, pengendalian secara alami juga menjadi tidak seimbang sehingga pengendalian secara alami menjadi kurang efektif. Hal ini karena  populasi predator sudah relatif sedikit akibat berbagai aktivitas manusia dan rusaknya lingkungan. Pengendalian hama tikus dengan memanfaatkan predator sangat potensial dan memiliki keunggulan yakni ramah lingkungan, ekonomis dan berkesinambungan.

Salah satu predator hama tikus yang potensial untuk dikembangkan adalah burung hantu Tyto alba javanica. Upaya-upaya pengendalian hama tikus dengan burung hantu sudah banyak dikembangkan dan terbukti efektif. Pengembangan burung hantu di desa Telogoweru, Kecamatan Guntur, Kabupaten Demak, Propinsi Jawa Tengah berhasil menurunkan serangan tikus pada pertanaman padi sawah dan jagung secara signifikan (Pudjoarto dan Sutedjo, 2015). Keberhasilan pengendalian hama tikus dengan memanfaatkan burung hantu terletak pada adanya campur tangan manusia. Hal ini karena habitat alami burung hantu sudahterganggu bahkan rusak sehingga burung hantu membuat sarang pada pemukiman manusia seperti rumah, gedung sekolah, pergudangan dan bangunan lainnya. Namun keberadaan dan kelestarian burung hantu pada daerah pemukiman terancam oleh mitos atau pandangan negatif dimana burung hantu dianggap sebagai pertanda buruk sehingga diusir dan dibunuh. Aktivitas berburu juga kerap kali membunuh burung hantu.

Klasifikasi

Burung hantu adalah kelompok burung yang merupakan anggota ordo Stringiformes. Burung ini termasuk golongan burung buas pemakan daging (karnivora) dan merupakan hewan malam (nokturnal). Ordo Stringiformes terdiri dari dua suku (famili), yakni suku burung serak atau burung-hantu gudang (Tytonidae) dan suku burung hantu sejati (Strigidae) (Anonim, 2014).

Jumlah spesies burung hantu pada famili Strigidae sebanyak 123 spesies sedangkan pada famili Tytonidae sebanyak 11  spesies, salah satunya adalah spesies Tyto alba. Klasifikasi burung hantu Tyto alba adalah:

Ciri-ciri morfologi burung hantu Tyto alba javanica (G.mel) adalah bulu sayap atas dan punggung berwarna berwarna abu-abu kekuningan. Sayap bawah dan bagian dada dan perut berwarna putih dengan bintik-bintik hitam. Semua bulunya mengandung zat lilin. Perbedaan antara jantan dan betina terletak pada warna bulu di bagian leher depan. Pada T.alba betina berwarna putih dan bintik-bintik hitam, sedangkan jantan berwarna kuning kecoklatan dan berbintik-bintik hitam. Ukuran tubuh antara jantan dan betina hampir sama, namun biasanya betina memiliki ukuran tubuh lebih besar dari pada jantan (Indriyati dan Isnaini, 2013).

Gambar 2. Tahapan perkembangan burung hantu Tyto alba javanica (Gmel)

II. PENGEMBANGAN BURUNG HANTU Tyto alba javanica (G.mel)

                                    Populasi burung hantu di Indonesia tergolong rendah karena kurang tersedianya tempat bersarang dan keterbatasan makanan di kawasan tertentu. Untuk meningkatkan populasi burung hantu maka perlu dilakukan penyediaan sarang untuk berkembangbiak karena sifat burung hantu yang tidak pandai membuat sarang. Hasil kajian Siahaan, dkk (2015) bahwa secara umum ada dua kondisi awal yang menyebabkan adanya dua strategi dalam pengembangan burung hantu Tyto alba javanica yakni ada atau tidak adanya burung hantu lokal (native) pada kawasan yang akan dikembangkan. Ada atau tidaknya burung hantu pada suatu kawasan dapat diketahui dengan melakukan monitoring tanda-tanda keberadaan burung hantu Tyto alba berupa feces, pelet, bulu, sarang alami maupun fisik burung hantu itu sendiri.

2.1. Kondisi awal kawasan sudah terdapat populasi

burung hantu lokal

Pada kawasan yang sudah terdapat populasi burung hantu Tyto alba javanica maka tahapan pengembangan yang dapat dilakukan adalah:

a. Lakukan survei lokasi keberadaan burung hantu.

Umumnya tyto alba bersarang pada plafon bangunan sekolah, rumah ibadah, gudang dan bangunan lainnya. Sarang alami yang ditemukan harus dipastikan aktif yang ditandai dengan adanya kotoran, pelet dan sisa makanan (bangkai tikus) yang masih baru. Umumnya pada siang hari burung hantu berada dalam sarang. Apabila tepat pada waktu musim bertelur maka didalam sarang dapat ditemukan telur maupun anakan burung hantu. Pengamatan dilakukan pada sore hingga malam hari untuk memantau keberadan burung hantu.

Gambar 3. Sarang alami Tyto alba javanica pada plafon gedung sekolah

. Mendirikan rumah burung hantu buatan (rubuha)

Induk burung hantu Tyto alba javanica akan mengusir anakan dari dalam sarang apabila memasuki musim kawin dan musim bertelur. Sebaliknya, anakan burung hantu yang telah dewasa juga akan mencari pasangan dan sarang baru saat ingin kawin dan bertelur. Anakan inilah yang diharapkan akan menempati rumah burung hantu (rubuha) yang telah disediakan atau didirikan di lokasi dimana pada saat survei ditemukan sarang alami atau adanya tanda-tanda keberadaan burung hantu. Rubuha dapat terbuat dari papan dengan kontruksi sebagai berikut:

Gambar 6. Kontruksi rumah burung hantu (rubuha)

Metode mendirikan rubuha adalah sebagai berikut:

  • Rubuha didirikan pada saat musim bertelur atau pada sarang alami terdapat fase anakan burung hantu .
  • Rubuha didirikan dengan jarak 10 – 15 meter dari sarang alami atau dimana ditemukan adanya tanda-tandan keberadaan burung hantu.
  • Rubuha sebaiknya didirikan terkonsentrasi pada sarang alami karena sifat burung hantu yang suka mengumpul atau berkelompok pada satu kawasan.
  • Rubuha dapat didirikan menggunakan tiang bambu, kayu dan lain sebagainya atau diatas pepohonan.

Pada kawasan dimana hanya terdapat kotoran dan/atau pelet Tyto alba (tidak terdapat sarang alami) menandakan bahwa kawasan tersebut merupakan wilayah Tyto alba berburu tikus. Pada kawasan dengan kondisi seperti ini, rubuha akan ditempati burung hantu dalam waktu relatif lama yakni sekitar dua periode musim kawin atau musim bertelur atau lebih dari satu tahun.

2.2. Kondisi awal kawasan tidak terdapat populasi burung hantu lokal

Pada kawasan yang tidak terdapat populasi burung hantu Tyto alba javanica maka upaya yang perlu dilakukan adalah mengintroduksi burung hantu sehingga diharapkan menjadi populasi awal di kawasan pengembangan tersebut. Cara mengintroduksi Tyto alba adalah:

  1. Dirikan kandang karantina sebagai tempat lokalisasi (adaptasi) dan memelihara Tyto alba di lingkungan yang baru serta sebagai tempat mensosialisasikan rubuha bagi Tyto alba.
  2. Masukkan satu pasang (atau lebih) burung hantu berumur 2 – 3 bulan ke dalam kandang karantina.
  3. Lokalisasi Tyto alba di dalam rubuha yang ditempatkan di dalam kandang karantina selama sekitar dua minggu. Selama proses lokalisasi, pintu rubuha dalam keadaan tertutup dan Tyto alba diberi makan berupa cincangan daging tikus 4 – 6 ekor setiap sore hari.
  4. Setelah sekitar dua minggu pintu rubuha dibuka, namun Tyto alba masih dipelihara/dilokalisasi di dalam kandang karantina 2-3 minggu atau sampai Tyto alba benar-benar bersarang pada rubuha. Tikus dapat dilepas ke dalam kandang karantina sebagai makanan sekaligus melatih naluri burung hantu Tyto alba dalam berburu tikus.
  5. Setelah Tyto alba bersarang dalam rubuha, Tyto alba dapat dilepas dengan memindahkan Tyto alba bersama rubuha yang ditempatinya keluar kandang karantina. Memindahkan Tyto alba pada kondisi bertelur atau telah berkembangbiak dalam rubuha adalah lebih baik.
  6. Segera berdirikan 4 – 5 unit rubuha di sekitar rubuha yang telah ditempati. Induk Tyto alba akan mengusir anakan dari sarang pada musim kawin atau musim bertelur berikutnya. Anakan inilah yang diharapkan akan menempati rubuha yang telah disediakan.

REFERENSI

Adidharma dan Dhamayanti, 2009. Kajian sosial ekonomi pengendalian hama tikus pohon, Rattus tiomanicus Miller dengan burung hantu, Tyto alba, pada perkebunan kelapa sawit. https://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/54330. diakses tanggal 01 April 2014.

Anonim, 2014. Burung Hantu. https://id.wikipedia.org./wiki/burung_hantu. Diakses Tanggal 08 Juli 2014.

Siahaan, E.P., Ramli N., dan Silalahi, P., 2015. Pengembangan Burung Hantu Tyto alba javanica (Gmel) Dalam Pengendalian Hama Tikus Pada Tanaman Perkebunan. Balai Besar Perbenihan Dan Proteksi Tanaman Perkebunan Medan, Medan.

Indriyati, M. K. dan Isnaini, N., 2013. Buku Pedoman Pengembangan Burung Hantu (Tyto alba javanica Gmel) Sebagai Pengendali Tikus Pada Areal Perkebunan. Direktorat Perlindungan Perkebunan, Jakarta.

Priyambodo S., 2003. Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Penebar Swadaya, Jakarta.

Pudjoarto dan Sutedjo, 2015. Materi Pelatihan (In House Training) Monitoring Dan Evaluasi Tyto Alba, tanggal 27 -30 Oktober di BBPPTP Medan.


Bagikan Artikel Ini